Minggu, 13 November 2011

Budaya dan Fashion

Sadarkah kita bahwa cara kita berpakaian menentukan nilai budaya yang kita anut?
Jika anda sering berbelanja ke daerah Blok M di Jakarta Selatan, anda tentunya sering berpapasan dengan anak-anak Punk. Biasanya mereka ini suka nongkrong di jembatan penyebrangan menuju Blok M Plaza, GOR Bulungan, atau kadang kala di Terminal Blok M.
Ciri-ciri utama mereka adalah berpakaian jeans belel, dengan beberapa aksesoris rantai dan spike, dan terutama dengan cukuran rambut ala Mohawk. Mereka menganggap ciri berpakaian macam ini sebagai nilai anti kemapanan, nilai yang dianut oleh budaya Punk.
Dengan mengenakan berbagai macam aksesoris sebagaimana diyakini sebagai bagian dari budaya Punk, maka mereka mengasosiasikan diri mereka sebagai anak Punk. Mereka menjadi Punk karena berpakaian ala Punk. Identitas budaya terkonstruksikan melalui fashion mereka.
Menurut Wikipedia, Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk identik dengan ideologi anti kemapanan.
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika (dan dunia) yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Masih dari Wikipedia, Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley.
Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat.
Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978) antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.
Bagaimana fashion system mengkonstruksikan nilai-nilai budaya juga dapat kita lihat dalam fenomena Harajuku. Nama Harajuku sendiri diambil dari nama wilayah yang terletak di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang. Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival ‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan.

               
Pengaruh budaya Jepang bukan hanya dari segi musik. Anime atau manga lebih dahulu masuk ke Indonesia sekitar 15 tahun lalu. Nyaris bersamaan dengan “invasi” musik Jepang di Indonesia, gaya Harajuku pun melanda anak-anak muda di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Makanan Jepang kini tersebar di kota-kota tersebut. Padahal budaya modern Jepang ini sungguh jauh berbeda dengan budaya tradisional mereka.
Dalam salah satu ajang festival ala harajuku ini biasanya kita temukan acara Cosplay. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang (wasei-eigo) yang berasal dari gabungan kata “costume” (kostum) dan “play” (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, permainan video, penyanyi dan musisi idola. Pelaku cosplay disebut cosplayer, Di kalangan penggemar,cosplayer juga disingkat sebagai layer.
Di Jepang, peserta cosplay bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar cosplay termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.
Cultural studies melihat fenomena harajuku atau cosplay macam ini sebagaimana budaya Punk, pada dasarnya terkonstruksikan terutama oleh fashion system. Mereka mengidentifikasikan budaya yang mereka anut melalui bagaimana cara mereka berpakaian.
Meminjam perspektif semiotika, jika kita memaknai fashion anak Punk dan Harajuku secara denotatif mungkin akan muncul makna yang simplisistik. Punk itu dekil, jorok, tidak rapih, pemberontak. Harajuku itu aneh, norak, kenakan-kanakan.
Tapi coba anda tanyakan kepada mereka yang ber-fashion ala Punk atau Harajuku, apakah mereka merasa demikian? Tentunya tidak. Mereka akan menjawabnya dalam tataran nilai konotatif.
Dengan saya berpakaian ala Punk dengan jeans belel, rantai, spike dan rambut Mohawk maka saya adalah orang yang anti-kemapanan. Dengan berpakaian ala Harajuku bukan untuk lucu-lucuan atau kenakanan, tapi memang ini adalah nilai-nilai yang saya sukai dan saya percayai. Dan mereka tidak akan merasa “norak” ketika mereka dengan sukarela berdandan ala punk maupun tokoh anime.
Merujuk kepada teori fashion system dari Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri kita, nilai budaya apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah.
Bukankah (dahulu) jika anda berjalan-jalan dengan mengenakan rok mini maka anda akan dilihat sebagai penganut budaya barat. Anda tidak akan dilihat sebagai orang berbudaya timur, atau bukan ‘orang Indonesia’. Jadi, budaya mencitrakan dirinya melalui pakaian apa yang anda kenakan.
Budaya punk dan harajuku juga menunjukkan sebuah pergeseran konsep budaya. Budaya kini tidak lagi terbelenggu oleh konsep ruang dan waktu. Bagaimana budaya punk yang notabene berasal dari London kini juga tumbuh subur di Indonesia. Bukankah Jakarta yang ramai dengan ajang Cosplay itu jauh dari Shibuya, Tokyo sana?
Keberadaan media massa dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan infiltrasi dan pertukaran nilai-nilai budaya semakin global. Batasan negara tidak lagi mampu membendung budaya yang dianut oleh warga negaranya.
Anak-anak punk di Jakarta dengan mudah mengonsumsi nilai budaya punk yang ‘asli’ dari Inggris sana melalui kaset atau CD musik dan film. Para cosplayer dengan mudahnya belajar budaya harajuku melalui film kartun dan anime yang tiap hari ditayangkan oleh stasiun televisi di Indonesia. Belum lagi media yang lain-lain.
Maka bukan mustahil pula jika suatu ketika ada orang bule di New York sana yang bertelanjang dada dan menggunakan koteka.
Lalu, nilai budaya apakah yang anda anut saat ini? Coba lihat dari pakaian apa yang anda pakai hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar