Minggu, 13 November 2011

perilaku politik, budaya politik dan pendidikan

Bulan Mei kita pandang sebagai Bulan Pendidikan. Dalam bulan Mei kita
berpikir dan berenung tentang pendidikan kita. Dirasakan masih banyak
hal yang harus diluruskan. Selain itu, ada juga hal-hal yang kita
rasakan sebagai keberhasilan dan kecemerlangan.
Jadi dunia pendidikan kita kini dihadapi dengan perasaan campur baur.
Ada hal-hal yang menimbulkan rasa bangga, tetapi ada pula yang
menimbulkan rasa sedih dan iba.
Di tengah kesibukan menggagas pendidikan kita dikejutkan aneka
peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita
kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat,
kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh
percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas
maksud dan tujuannya. Hari ini bilang “A”, beberapa hari kemudian
bilang “non-A”. Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam
format yang jelek.
Lalu di antara kita ada yang bertanya, “Masih adakah yang dapat
dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi
politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan
yang tidak terlampau jauh?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi dan
seminar. Di antara kita ada yang berpandangan optimistis, tetapi ada
pula yang berpandangan pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis
(cynical).
Sumber perilaku politik
Menurut pendapat saya, sumber perilaku politik pada dasarnya adalah
budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini
tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat
tertutup.
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang
pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan
partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur
merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika
datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para
pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk
memperbarui budaya politik.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari
budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda
dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman
reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian
melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di
sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan “budaya politik
aji mumpung”.
Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa
yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama
budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh
pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan
bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final
membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap
calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar
kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang
baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek
dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian
hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para
pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik
berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat
dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita,
misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan
pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang
datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari
latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi
feodal atau militer.
Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang
pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku
politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para
politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya
dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan
yang kurang beruntung.
Sosok pendidikan
Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat
menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana
kita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secara
umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik
disebut “pendidikan manusia seutuhnya”.
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak
menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika,
empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,
jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda
yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka
persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan,
memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma,
dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para
ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum.
Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga
sarjana muda atau D-2/D-3.
Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-
insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan
perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu
perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan
perlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR
diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang
harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir
generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih
bertanggung jawab daripada yang ada kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar