Minggu, 13 November 2011

Budaya dan Fashion

Sadarkah kita bahwa cara kita berpakaian menentukan nilai budaya yang kita anut?
Jika anda sering berbelanja ke daerah Blok M di Jakarta Selatan, anda tentunya sering berpapasan dengan anak-anak Punk. Biasanya mereka ini suka nongkrong di jembatan penyebrangan menuju Blok M Plaza, GOR Bulungan, atau kadang kala di Terminal Blok M.
Ciri-ciri utama mereka adalah berpakaian jeans belel, dengan beberapa aksesoris rantai dan spike, dan terutama dengan cukuran rambut ala Mohawk. Mereka menganggap ciri berpakaian macam ini sebagai nilai anti kemapanan, nilai yang dianut oleh budaya Punk.
Dengan mengenakan berbagai macam aksesoris sebagaimana diyakini sebagai bagian dari budaya Punk, maka mereka mengasosiasikan diri mereka sebagai anak Punk. Mereka menjadi Punk karena berpakaian ala Punk. Identitas budaya terkonstruksikan melalui fashion mereka.
Menurut Wikipedia, Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk identik dengan ideologi anti kemapanan.
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika (dan dunia) yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Masih dari Wikipedia, Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone, dan Elvis Presley.
Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat.
Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978) antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik.
Bagaimana fashion system mengkonstruksikan nilai-nilai budaya juga dapat kita lihat dalam fenomena Harajuku. Nama Harajuku sendiri diambil dari nama wilayah yang terletak di Distrik Shibuya, Tokyo yang menjadi pusat berekspresi kaum urban Jepang. Fenomena Harajuku di Indonesia misalnya dapat kita lihat dari maraknya festival ‘jepang-jepangan’ di berbagai kesempatan.

               
Pengaruh budaya Jepang bukan hanya dari segi musik. Anime atau manga lebih dahulu masuk ke Indonesia sekitar 15 tahun lalu. Nyaris bersamaan dengan “invasi” musik Jepang di Indonesia, gaya Harajuku pun melanda anak-anak muda di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Makanan Jepang kini tersebar di kota-kota tersebut. Padahal budaya modern Jepang ini sungguh jauh berbeda dengan budaya tradisional mereka.
Dalam salah satu ajang festival ala harajuku ini biasanya kita temukan acara Cosplay. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang (wasei-eigo) yang berasal dari gabungan kata “costume” (kostum) dan “play” (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, permainan video, penyanyi dan musisi idola. Pelaku cosplay disebut cosplayer, Di kalangan penggemar,cosplayer juga disingkat sebagai layer.
Di Jepang, peserta cosplay bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar cosplay termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia.
Cultural studies melihat fenomena harajuku atau cosplay macam ini sebagaimana budaya Punk, pada dasarnya terkonstruksikan terutama oleh fashion system. Mereka mengidentifikasikan budaya yang mereka anut melalui bagaimana cara mereka berpakaian.
Meminjam perspektif semiotika, jika kita memaknai fashion anak Punk dan Harajuku secara denotatif mungkin akan muncul makna yang simplisistik. Punk itu dekil, jorok, tidak rapih, pemberontak. Harajuku itu aneh, norak, kenakan-kanakan.
Tapi coba anda tanyakan kepada mereka yang ber-fashion ala Punk atau Harajuku, apakah mereka merasa demikian? Tentunya tidak. Mereka akan menjawabnya dalam tataran nilai konotatif.
Dengan saya berpakaian ala Punk dengan jeans belel, rantai, spike dan rambut Mohawk maka saya adalah orang yang anti-kemapanan. Dengan berpakaian ala Harajuku bukan untuk lucu-lucuan atau kenakanan, tapi memang ini adalah nilai-nilai yang saya sukai dan saya percayai. Dan mereka tidak akan merasa “norak” ketika mereka dengan sukarela berdandan ala punk maupun tokoh anime.
Merujuk kepada teori fashion system dari Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri kita, nilai budaya apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah.
Bukankah (dahulu) jika anda berjalan-jalan dengan mengenakan rok mini maka anda akan dilihat sebagai penganut budaya barat. Anda tidak akan dilihat sebagai orang berbudaya timur, atau bukan ‘orang Indonesia’. Jadi, budaya mencitrakan dirinya melalui pakaian apa yang anda kenakan.
Budaya punk dan harajuku juga menunjukkan sebuah pergeseran konsep budaya. Budaya kini tidak lagi terbelenggu oleh konsep ruang dan waktu. Bagaimana budaya punk yang notabene berasal dari London kini juga tumbuh subur di Indonesia. Bukankah Jakarta yang ramai dengan ajang Cosplay itu jauh dari Shibuya, Tokyo sana?
Keberadaan media massa dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan infiltrasi dan pertukaran nilai-nilai budaya semakin global. Batasan negara tidak lagi mampu membendung budaya yang dianut oleh warga negaranya.
Anak-anak punk di Jakarta dengan mudah mengonsumsi nilai budaya punk yang ‘asli’ dari Inggris sana melalui kaset atau CD musik dan film. Para cosplayer dengan mudahnya belajar budaya harajuku melalui film kartun dan anime yang tiap hari ditayangkan oleh stasiun televisi di Indonesia. Belum lagi media yang lain-lain.
Maka bukan mustahil pula jika suatu ketika ada orang bule di New York sana yang bertelanjang dada dan menggunakan koteka.
Lalu, nilai budaya apakah yang anda anut saat ini? Coba lihat dari pakaian apa yang anda pakai hari ini.

perilaku politik, budaya politik dan pendidikan

Bulan Mei kita pandang sebagai Bulan Pendidikan. Dalam bulan Mei kita
berpikir dan berenung tentang pendidikan kita. Dirasakan masih banyak
hal yang harus diluruskan. Selain itu, ada juga hal-hal yang kita
rasakan sebagai keberhasilan dan kecemerlangan.
Jadi dunia pendidikan kita kini dihadapi dengan perasaan campur baur.
Ada hal-hal yang menimbulkan rasa bangga, tetapi ada pula yang
menimbulkan rasa sedih dan iba.
Di tengah kesibukan menggagas pendidikan kita dikejutkan aneka
peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita
kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat,
kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh
percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas
maksud dan tujuannya. Hari ini bilang “A”, beberapa hari kemudian
bilang “non-A”. Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam
format yang jelek.
Lalu di antara kita ada yang bertanya, “Masih adakah yang dapat
dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi
politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan
yang tidak terlampau jauh?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi dan
seminar. Di antara kita ada yang berpandangan optimistis, tetapi ada
pula yang berpandangan pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis
(cynical).
Sumber perilaku politik
Menurut pendapat saya, sumber perilaku politik pada dasarnya adalah
budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini
tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat
tertutup.
Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang
pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan
partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur
merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika
datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para
pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk
memperbarui budaya politik.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari
budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda
dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman
reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian
melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di
sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan “budaya politik
aji mumpung”.
Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa
yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama
budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh
pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan
bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final
membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap
calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar
kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang
baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek
dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian
hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para
pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik
berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat
dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita,
misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan
pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang
datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari
latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi
feodal atau militer.
Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang
pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku
politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para
politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya
dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan
yang kurang beruntung.
Sosok pendidikan
Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat
menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana
kita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secara
umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik
disebut “pendidikan manusia seutuhnya”.
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak
menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika,
empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,
jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda
yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka
persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan,
memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma,
dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para
ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum.
Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga
sarjana muda atau D-2/D-3.
Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-
insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan
perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu
perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan
perlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR
diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang
harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir
generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih
bertanggung jawab daripada yang ada kini.

Budaya dalam Perusahaan

Secara sederhana Budaya Perusahaan kerap didefinisikan sebagai: Begitulah cara kami bekerja di sini. Namun klau menginginkan yang lebih “akademis” maka Budaya Perusahaan bisa kita definisikan sebagai: Nilai-nilai pokok yang menjadi inti dari falsafah bekerja dalam organisasi, yang membimbing seluruh karyawan dalam bekerja, sehingga perusahaan akan mencapai sukses dalam usahanya.
Perusahaan yang memiliki Budaya Perusahaan yang kuat akan mampu bertahan lama. Lihat saja IBM dengan IBM means services, P&G dengan Bussiness integrity, fair treatment of employees. Memang, bisa saja perusahaan itu sukses tanpa memiliki Budaya Perusahaan, tetapi keberhasilannya biasanya bersifat sementara. Perusahaan keluarga yang ambruk dua generasi setelah pendirinya meninggal, bisa menjadi contoh yang nyata.
Lalu bagaimana caranya membentuk Budaya Perusahaan yang kuat dan mampu membawa perusahaan bertahan lama? Terdapat sejumlah langkah yang dapat ditempuh dalam membentuk dan memelihara Budaya Perusahaan.
Langkah awal adalah usaha mengenali, menemukan, menyadari dan menguraikan Budaya Perusahaan yang build-in di dalam organisasi. Hal-hal yang ditemukan pada usaha itu sendiri dari: norma-norma positif dan norma-norma negatif, atau hal-hal yang hendak dipertahankan atau diperkuat dan hal-hal yang merupakan perselisihan antara apa yang ditemukan dengan Budaya Perusahaan yang dikehendaki.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan sasaran-sasaran yang jelas dan dapat iukur, mengenai bagaimanakah perselisihan dapat dikurangi dan norma-norma positif dipertahankan. Sasaran-sasaran program, dan sasaran kultural yang berupa keyakinan, sikap maupun perilaku.
Kegiatan itu disusul dengan perencanaan dan penerapan dari tindakan-tindakan yang secara ideal akan mewujudkan perubahan pada empat dimensi, yaitu pada setiap individu, pada anggota tim sekerja, pada pimpinan, dan pada organisasi secara proses, sistem, kebijakan dan struktur.
Karena “cara bekerja” sebuah perusahaan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terus berubah, maka usaha untuk membentuk Budaya Perusahaan sebaiknya ditinjau sebagai suatu sistem. Timbal balik sebaiknya diperoleh secara berkala guna meninjau kembali kecocokan dari asumsi-asumsi semula dan menyesuaikan tindakan selanjutnya.
Lalu di mana peran manager dalam pembentukan Budaya Perusahaan? Setiap manager harus memikul beban untuk membentuk atau memelihara Budaya Perusahaannya sesuai dengan otoritasnya. Ia merupakan penerjemah dari Budaya Perusahaan bagi bawahan di unit kerjanya.
Terjemahannya itu tentu dipengaruhi oleh apakah ia mengerti dan menerima makro kultur dari perusahaannya. Bila sudah jelas, ia wajib memelihara, menguatkan dan mempertimbangkannya dalam setiap ketetapan dan kebijaksanaan perusahaan yang berakibat pada empat dimensi yang dibahas tadi, yaitu pada individu, kelompok, pimpinan dan organisasi.
Bila setiap manager mampu untuk menerjemahkan “makro kultur” perusahaan menjadi suatu “mikro kultur” di unitnya masing-masing, maka perusahaan itu akan seperti berlian: suatu badan tetapi banyak segi. Adapun organisasi yang memiliki Budaya Perusahaan yang positif ibarat berlian yang tetap diasah dengan baik: meski banyak segi, cahayanya dapat menyatu. 

Budaya Pacaran di Kalangan Remaja

Sebagaimana yang telah kita ketahui istilah pacaran ini dulu sangatlah asing dan tak dikenal oleh para remaja seperti sekarang ini, namun pada dewasanya pacaran sudah merebak bak jamur di musim penghujan baik itu dalam lingkup kota maupun desa pada kalangan remaja di abad ini. Para remaja ini seolah membuat suatu tradisi kebudayaan baru yang dalam hal ini mengusung pacaran sebagai suatu budaya pada masanya. Sebenarnya mungkin itu adalah sautu kewajaran yang biasa dalam pergaulan remaja kini bahkan pacaran ini sekarang dianggap sebagai suatu kewajiban dalam prosesi pergaulan mereka. Padahal ketika dahulu prosesi pacaran ini tidaklah ada bahkan khususnya di Indonesia, pacaran itu dianggap sebagai suatu hal yang dianggap tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat. Lalu kenapa pacaran sekarang seolah menjadi tradisi yang sudah tak mungkin lepas dari kehidupan remaja? Sebelum membahas hal tersebut, kebudayaan sebagaimana yang telah kita ketahui adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia atau dalam pengertian lain, yakni berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. sedangkan pacaran menurut para remaja sendiri adalah suatu ikatan perasaan cinta dan kasih antara dua individu yakni lelaki dan perempuan untuk menjalin suatu hubungan yang lebih dekat yang pada esensinya untuk saling mengena lebi jauh untuk menuju proses upacara sacral (menikah) atau untuk mencari pasangan hidup yang dianggap cocok. Maka dari pendefinisian itulah pacaran dinggap sebagi salah satu budaya masyarakat khususnya remaja karena merupakan hasil ide, gagasan, dan aktivitas tingkah laku keseharian mereka. Sehingga pada efeknya sekarang banyak para remaja menganggap bahwa pacaran merupakan suatu hal yang wajib sebagai jalan mendapat jodoh. Pada awalnya pacaran ini merupakan seperti yang telah dikemukakan diatas sebagai prosesi mengenal satu sama lain dengan cara mengikat dan menyatakan hubungan mereka kedalam bentuk yang bisa dikatakan formal agar dapat mengenal secara intim. Namun pada perkembangannya pacaran disini seolah menjadi mode, bila seorang belum pernah pacaran bisa dikatakan ketinggalan zaman. Hal seperti itulah kiranya yang membuat remaja membangun persepsi wajibnya pacaran bagi kalangan mereka. Kegiatan pacaran ini sebenarnya implikasi dari rasa kebutuhan seseorang atau lebih karena kekurangan mereka dalam mendapat perhatian dan pengertian sebagai makhluk sosial, sehingga timbulah suatu kekuatan atau dorongan alasan yang menyebabkan orang tersebut bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini pacaran Adapun pada dasarnya sekarang motif sosiogenetis yang asalnya hanya menekankan pada individu untuk ingin dimengerti orang banyak menjadi ingin diakuinya individu pada daerah tersebut. Sebagai contohnya hari ini seseorang akan merasa dirinya minder terhadap orang lain yang mempunyai pasangan (pacar) sedangkan ia tidak. Sehingga dapat di gambarkan sebagai berikut: Kebutuhan Motive Perilaku >> Bersosial Pengakuan sosial Pacaran Sehingga pada penilaian diatas lingkungan sosial sudah barang tentu sangat mempengaruhi seseorang. Terkait masalah lingkungan sosial yang terjadi, ternyata pacaran sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan kepada para remaja antara lain karena pengaruh keluarga khususnya keluarga perkotaan. Dimana sebagian orang tua menganggap jika ingin mendapatkan pasangan hidup yang cocok baiknya harus saling mengenal secara lebih intim lebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya seperti apa, apakah akan sejalan dan cocok ataukah tidak dengan menggunakan pacaran sebagai jembatan prosesi tersebut. Akibatnya sekarang dengan adanya dorongan itupun pacaran akhirnya berkembang dari suatu budaya menjadi sebuah tradisi. Budaya pacaran ini pada masyarakat Indonesia dulu tidak terlalu berkembang melesat seperti sekarang. Salah satu hal yang menjadikan budaya pacaran ini menjadi tradisi adalah pada khalayak remaja adalah tak lain karena pengaruh media teknologi abad sekarang yang selama ini serta merta menyoroti kegiatan-kegiatan remaja yang di dalamnya lebih banyak terfokus kepada pacaran tersebut. Sehingga pada efeknya melalui media para remaja menganggap pacaran sebagai tren atau mode berbudaya pada abad ini. Awalnya pacaran tidak semudah itu merangsek masuk kedalam culture masyarakat Indonesia karena dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat khususnya umat beragama Islam. Akan tetapi pacaran yang sebelumnya orang menganggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial karena menyimpang terhadap norma, sekarang perlahan melumer dan berakulturasi dengan budaya lingkungan sekitar yang karena pengaruhnya ini dibantu oleh media sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi pada masyarakat modern yang dimana amalgamasi (sambungan, campuran, keluluhan) yang kompleks terjadi dan menghasilkan pacaran sebagai sebuah tradisi kebudayaan pada para remaja khususnya pada perkotaan. Maka dalam hal ini penulis menganggap bahwa pacaran juga merupakan tingkah laku yang dahulu dianggap menyimpang terhadap norma, yang kemudian sejatinya sekarang menjadi meluas pada masyarakat sehingga berlangsunglah deviasi situasional yang kumulatif. Akan tetapi sebenarnya pacaran tidaklah terlalu menyimpang terlalu jauh selama para remaja masih bisa memegang teguh terhadap nilai budaya masyarakat yang ada. Sebagai kesimpulan akhir penulis berpendapat bahwa pacaran pada buktinya menyatakan adanya inter-dependensi (saling ketergantungan) atau ada ketergantungan-organik diantara disorganisasi social dan pribadi sehingga mempengaruhi kebudayaan sebelumnya pada kebudayaan sekarang dengan mengaitkan pacaran sebagai budaya dan tradisi kontemporer. Pacaran ini pun pada esensinya sangat dipengaruhi oleh media sebagai hasil teknologi yang menyebabkan proses asimilasi menjadi begitu mudah karena lingkup asimilasi kini menjangkau pada ideologi dan budaya setiap individu dengan kemungkinan waktu bersamaan secara kumlatif atau menyeluruh, sehingga terjadilah anggapan ataupun pandangan masyarakat khususnya remaja mengenai pacaran sebagai prosesi kehidupan yang harus dicoba dan dilalui .

sumber : http://priel12.wordpress.com/sejarah-candi-prambanan/

Kebudayaan Jawa

Sekaten dari kata Sekati

Sekaten, atau pasar malam yang biasa dilakukan menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, selepas dari makna agamis ternyata memiliki banyak arti jika kita dapat mencermati makna di dalamnya secara mendalam. Saat ini sekaten hanya dianggap sebagai wahana hiburan bagi rakyat kecil oleh penguasa serta cara memdapat berkah dari penguasa dengan berebutan dalam acara gunungan.Namun, pada dasarnya kedua makna tersebut benar hanya terkadang kita kurang memahami makna didalam dari kedua makna tersebut.
Berikut akan saya jabarkan pemaknaan menurut diri saya yang lebih dari itu:
  • Sekaten merupakan wahana hiburan bagi rakyat, karena terdapat berbagai hiburan yang murah meriah dan terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu ragam hiburan juga bermacam-macam
  • Sekaten dapat menumbuhkan keluarga harmonis. Stand yang beragam dan juga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan akan membuat banyak keluarga yang tadinya jarang keluar dari rumah untuk rekreasi menjadi pergi keluar dan di sekaten mereka dapat saling berinteraksi dalam keluarga akan apa yang mereka ingini masing-masing, dengan demikian dalam keluarga itu jadi tahu seperti apa kemauan anggota keluarganya. hal ini dapat membuat keluarga jadi tambah harmonis.
  • Sekaten sebagai ajang sosialisasi antar rakyat, baik yang tua maupun muda. Stand yang beragam dan banyak dikunjungi akhirnya dapat membuat orang yang tadinya tidak saling kenal menjadi mengenal satu sama lain. Dengan demikian, orang tersebut akan memperoleh banyak teman dan berbagai sifat serta daerah asal, karena kita tahu sekaten dapat mendatang kan orang dari luar kota sekalipun.
  • Sekaten merupakan tanda syukur. Dalam sekaten diadakan suatu pembagian gunungan dari penguasa ke rakyat. Ini selain sebagai simbol bahwa penguasa juga memperhatikan rakyat, juga sebagai simbol bahwa penguasa bersyukur atas rakyatnya yang selalu mendukung pemerintahannya baik dalam bentuk pujian ataupun kritikan.
Namun, menurut saya keseluruhan, inti sekaten itu terdapat pada puncak acaranya sendiri yaitu saat gunungan di keluarkan, gamelan dibunyikan dan saat Maulid Nabi Muhammad SAW (kelahiran Nabi Muhammad).
Sekaten sebagai tanda kemakmuran. Hal ini dapat di tinjau dari komponen gunungan yang dibuat serta dari asal kata sekaten itu sendiri. Sekaten itu sendiri sebenranya dari kata Sekati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kati itu berarti ukuran bobot yang berukuran 6,25 ons dan biasa digunakan untuk mengukur beras ketika akan di masak. Dahulu orang jika membeli beras memakai ukuran ini dengan penakar adalah setengah tempurung kelapa. Jika kita tinjau lebih dalam, Sekati berarti satu kati atau 6,25 ons, dan jika menanak nasi sebanyak 6,25 ons beras itu berarti dapat mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga dalam satu hari. Dengan demikian keluarga tersebut tidak kekurangan. Selain dari kata sekati, komponen dari gunungan juga bermacam-macam dan biasanya adalah bahan kebutuhan sehari-hari. Bahan kebutuhan sehari-hari atau sembako itu juga merupakan salah satu penopang hidup dan kemakmuran dalam sebuah keluarga. Selain sembako juga ada papan atau kayu serta kain yang turut di ambil, kedua bahan ini mewakili dari sandang dan papan yang dibutuhkan oleh tiap insan.

Pada saat gunungan dikeluarkan juga dibunyikan gamelan sekaten atau gamelan sekati. Gamelan merupakan sebuah seni musik dan mewakili seni yang lain. Ini berarti selain bahan pangan, sandang dan papan, juga manusia dianggap akan makmur bila dapat menikmati atau memiliki suatu rasa seni, salah satunya seni musik. Tidak hanya itu, Hari Maulid Nabi Muhammad SAW pun adalah saat dimana gunungan di keluarkan, ini berarti bahwa segalanya itu tidak akan mengalami kemakmuran jika kita tidak mengenal suatu agama dan Tuhan yang memberikan segalanya untuk kita.

Sehingga dengan demikian, pada hemat saya para penguasa dan jaman dahulu memandang bahwa suatu kemakmuran itu tercipta apabila unsur Pangan, Sandang, Papan, Seni dan Rohani itu tercukupi dan dalam keadaan yang seimbang. Keseimbangan tersebut dapat diambil dari kata sekati karena dengan beras sekati satu keluarga dapat melakukan berbagai pekerjaannya pada satu hari itu.
 

Budaya dan Ibadah

saya merupakan sorang muslim yang wajib percaya pada Allah yang esa (satu). Tidak boleh percaya kepada selain Allah atau yang disebut dengan musyrik. sekarang bagaimana jika ibadah yang kita jalankana diselingi dengan kebudayaan yang bisa mengurangi keimanan kita. seperti mengadakan upacara adat yang menggunakan sesajen dan solawatan yang tujuannya untuk mencari berkah Allah swt.
Adalagi disekeliling kita orang - orang yg mengagung - agungkan makam. Mereka begitu mengkeramatkan sebuah makam seseorang. Kemudian orang - orang berbondong - bondong datang untuk berziarah ke makam tersebut. Memang berziarah kubur diperbolehkan bagi umat islam dengan tujuan mendo’akan sang ahli kubur tersebut karena mungkin mereka adalah salah satu pejuang agama, dan kita mengenang jasa-jasanya. Tapi kenyataanya tidak sedikit pula para peziarah yg meminta berkah dan keselamatan dimakam tersebut, padahal kita tahu bahwa orang yg sudah mati tidak akan bisa menolong orang yg masih hidup.
Sebenarnya ada banyak hal lagi kebudayaan yang keluar dari ajaran islam, sudah pasti ini sangat mengganggu kemurnian agama islam. Sekarang baiknya kita menjalankan ajaran agama dengan baik tanpa menyampur adukan dengan kebudayaan yang ada. Sehingga terhindar dari sifat musyrik dan sirik, semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt . amin .

BUDAYA JEJARING SOSAL

Jejaring sosial saat sini sudah banyak menyita waktu remaja, sebagian besar waktu mereka dihabiskan dalam dunia maya seperti facebook, twitter, kaskus, blog atau yang terbaru hello .
hal ini membuat mereka menjadi anti sosial dengan lingkungan sekitarnya, bahkan mungkin akan membuat lebih nyaman di duia maya ketimbang dunia nyata, walaupun orang-orang di dunia maya belum tentu dikenalnya.
jejaring sosial sebetulnya akan membuat seseorang menjauh dengan orang-orang di sekitarnya dan mengakrabkan dengan orang yang jauh di sana.
Larry D. Rosen, seorang profesor psikologi di California State University menjelaskan risiko-risiko psikologis apa saja yang dihadapi remaja jika terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mengakses jejaring sosial. Menurutnya, beberapa dampak negatif jejaring sosial pada remaja termasuk menjadikan mereka lebih rentan terhadap rasa sakit, agresif serta menampilkan perilaku anti sosial. Para ilmuwan juga menemukan bahwa remaja dan pra-remaja yang setiap harinya terlalu banyak menggunakan teknologi maupun jejaring sosial cenderung menunjukkan sikap gelisah, depresi serta kelainan psikologis lain.
Namun rosen juga menuturkan bahwa jejaring sosial juga bisa membantu remaja pemalu untuk lebih bersosialisasi dan memberanikan diri keluar dari zona nyamannya. Layanan seperti Facebook juga membantu remaja belajar berinteraksi serta berempati terhadap sesama.
Sebaiknya, orang tua juga ikut campur dalam hal ini, seperti berdiskusi atau menjadi tempat cerita yang nyaman bagi anak-anaknya untuk bertukar pikiran .

Sabtu, 12 November 2011

Remaja dan Budaya

Remaja lebih mudah mengikuti perkembangan jaman yang terjadi sekarang, mungkin juga yang bertentangan dengan kebudayaan orang tuanya. Namun, hal ini mereka lakukan agar mereka dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya sehingga tidak dikucilkan oleh temannya, walaupun hal tersebut bersifat negatif .
Mereka lebih suka persaingan dan protes untuk memenangkan argumen mereka, merasa berbeda dari yang lainnya. Bahkan dalam hal penampilan, remaja biasanya menciptakan hal-hal baru untuk membenahi penampilannya, walaupun terkadang malah terlihat agak aneh.
Remaja lebih menyukai hal-hal baru, mereka lebih mudah menerima globalisasi yang terjadi, apapun yang baru dianggap wajar walapun terkadang dinilai kurang baik.
Apalagi saat ini sudah didukung dengan peralatan yang canggih, sehingga membuta mereka lebih mudah untuk mengetahui perkembangan yang ada, juga bersosialisai dengan dunia luar .
seperti jejaring sosial yang populer saat ini, facebook dan twitter menjadi kadar kegaulan mereka .
dengan adanya pembaruan yang terus terjadi, baiknya kita harus pandai memilih mana yang patut kita tiru dan mana yag tidak.

KONSEP DASAR PEMASARAN

Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan pokok yang dilakukan oleh pengusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang, dan mendapatkan laba.
Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu.
Contoh permintaan adalah di pasar kebayoran lama yang bertindak sebagai permintaan adalah pembeli sedangkan penjual sebagai penawaran. Ketika terjadi transaksi antara pembeli dan penjual maka keduanya akan sepakat terjadi transaksi pada harga tertentu yang mungkin hasil dari tawar-menawar yang alot.
Hubungan kebutuhan, keinginan dan permintaan
Pemasar tidak menciptakan kebutuhan tetapi kebutuhan sudah ada sebelumnya. Pemasar, seperti juga pengaruh sosial lain, mempengaruhi keinginan. Pemasar dapat menawarkan gagasan bahwa mobil mewah dapat memenuhi kebutuhan seseorang akan status sosial. Pemasar mempengaruhi permintaan dengan membuat suatu produk yang cocok, menarik, terjangkau, dan mudah didapatkan oleh konsumen yang dituju.
Penawaran adalah sejumlah barang yang dijual atau ditawarkan pada suatu harga dan waktu tertentu. 
Proses perencanaan produk dilakukan sebelum suatu proyek pengembangan produk secara formal disetujui, sumber daya yang penting dipakai dan sebelum tim pengembang yang lebih besar dibentuk. Perencanaan produk merupakan suatu kejadian yang mempertimbangkan portofolio suatu proyek, sehingga suatu organisasi dapat mengikuti dan menetukan bagian apa dari proyek yang akan diikuti selama periode tertentu. Kegiatan perencanaan produk menjamin bahwa proyek pengembangan produk mendukung strategi bisnis perusahaan yang lebih luas dan menentukan:
  1. Proyek-proyek pengembangan produk apa yang akan dilakukan.
  2. Kombinasi pengembangan produk (produk baru, produk platform, atau produk turunan).
  3. Keterkaitan antar proyek dalam suatu portofolio.
  4. Waktu dan urutan proyek.
TIGA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN KONSUMEN
1). Konsumen Individu
Pilihan merek dipengaruhi oleh : Kebutuhan konsumen, persepsi atas karakteristik merek, dan  sikap kearah pilihan. Sebagai tambahan, pilihan merek dipengaruhi oleh demografi konsumen, gaya hidup, dan karakteristik personalia.

2). Pengaruh Lingkungan
Lingkungan pembelian konsumen ditunjukkan oleh budaya (Norma kemasyarakatan, pengaruh kedaerahan atau kesukuan), kelas sosial (keluasan grup sosial ekonomi atas harta milik konsumen),  grup tata muka (teman, anggota keluarga, dan grup referensi) dan faktor menentukan yang situasional ( situasi dimana produk dibeli seperti keluarga yang menggunakan mobil dan kalangan usaha).

3). Marketing strategy
Merupakan variabel dimana pemasar mengendalikan usahanya dalam memberitahu dan mempengaruhi konsumen. Variabel-variabelnya adalah barang, harga, periklanan dan distribusi yang mendorong konsumen dalam proses pengambilan keputusan.

STRATEGI PEMASARAN

SEGMENTASI PASAR :

Manfaat yang lain dengan dilakukannya segmentasi pasar, antara lain:
1. Perusahaan akan dapat mendeteksi secara dini dan tepat mengenai kecenderungan-kecenderungan dalam pasar yang senantiasa berubah.
2. Dapat mendesign produk yang benar-benar sesuai dengan permintaan pasar.
3. Dapat menentukan kampanye dan periklanan yang paling efektif.
4. Dapat mengarahkan dana promosi yang tersedia melalui media yang tepat bagi segmen yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
5. Dapat digunakan untuk mengukur usaha promosi sesuai dengan masa atau periode-periode dimana reaksi pasar cukup besar.
 POTITIONING PASAR  :

1. Perusahaan perlu mengkutitrend dan dinamika pasar, seperti trend teknologi, persaingan, sosial, dan ekonomi.
2. Perusahaan harus memfokuskan pada posisi teknologi dan kualitas.
3. Perusahaan harus mentargetkan produknya pada segmen pasar tertentu misalnya pada segmen masyarakat atas, menengah atau bawah. Karena lebih baik menjadi ikan besar dalam kolam kecil daripada menjadi ikan kecil di kolam besar (it's better to big fish in a little pond,).
4. Perusahaan harus mau bereksperimen dengan tipe produk baru, kemudian memperhatikan reaksi pasar. Jika pemakai menyarankan perubahan maka perusahaan harus menyesuaikan strateginya.


 STRATEGI MEMASUKI PASAR :

Dalam hal ini ada 3 cara untuk memasuki pasar, yang pertama membeli perusahaan yang sudah berjalan dan mengembangkannya lagi, atau memulai perusahaan baru dan menjalankan sendiri atau join dengan perusahaan lain .

STRATEGI PENENTUAN WAKTU :

Dalam menjalankana program pemasaran, waktu yang tepat sangat dibutuhkan bagi perusahaan, hal ini sangat penting sekali maka tidak boleh terlalu cepat ataupun terlalu lambat.

STRATEGI BAURAN PEMASARAN :

Harus selalu dapat bersifat dinamis, selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal maupun internal. Faktor eksternal yaitu faktor diluar jangkauan perusahaan yang antara lain terdiri dari pesaing, teknologi, peraturan pemerintah, keadaan perekonomian, dan lingkungan sosial budaya. Sedangkan faktor internal adalah variabel-variabel yang terdapat dalam bauran pemasaran yakni : Product (produk), Price (Harga), Place (Tempat), dan Promotion .


STRATEGI PEMASARAN BERDASARKAN TARGET PASAR :

 Konsentrasi segmen tunggal
Perusahaan memilih berkonsentrasi pada segmen tertentu. Hal itu dilakukan karena dana yang terbatas, segmen tersebut tidak memiliki pesaing, dan merupakan segmen yang paling tepat sebagai landasan untuk ekspansi ke segmen lainnya.
Spesialisasi selektif
Perusahaan memilih sejumlah segmen pasar yang menarik dan sesuai dengan tujuan serta sumber daya yang dimiliki.
Spesialisasi pasar
Perusahaan memusatkan diri pada upaya melayani berbagai kebutuhan dari suatu kelompok pelanggan tertentu.
Spesialisasi produk
Perusahaan memusatkan diri pada pembuatan produk tertentu yang akan dijual kepada berbagai segmen pasar.
Pelayanan penuh (full market coverage)
Perusahaan berusaha melayani semua kelompok pelanggan dengan semua produk yang mungkin dibutuhkan. Hanya perusahaan besar yang mampu menerapkan strategi ini, karena dibutuhkan sumber daya yang sangat besar.



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBATASI PEMILIHAN STRATEGI PASAR :

1.        Terbatasnya sumber-sumber yang dimiliki oleh perusahaan
Jika perusahaan memiliki sumber-sumber yang sangat terbatas untuk melayani pasar, maka strategi yang paling baik dilakukan adalah concentrated marketing.
2.        Homogenitas produk
Strategi yang paling cocok untuk produk yang homogen adalah undifferentiated marketing, seperti pada industri baja. Sedangkan untuk produk-produk yang memiliki berbagai macam variasi (heterogen), seperti kamera, mobil, maka lebih cocok menggunakan strategi differentiated marketing atau concentrated marketing.
3.        Tahap-tahap dalam siklus kehidupan produk
Kalau barang itu baru diperkenalkan dengan kuantitas yang terbatas, maka strategi yang lebih cocok adalah undifferentiated marketing untuk memenuhi permintaan primer dengan memusatkan pemasaran pada segmen khusus (concentrated marketing). Pada tahap kedewasaan dalam product life cycle, perusahan akan lebih banyak menggunakan strategi differentiated marketing.
4.        Homogenitas pasar
Jika para pembeli mempunyai selera yang sama, maka reaksi terhadap usaha pemasaran akan sama, strategi yang paling sesuai adalah strategi undifferentiated marketing.
5.        Strategi para pesaing
Apabila para pesaing sangat aktif melakukan segmentasi (differentiated marketing) maka cukup sulit bagi perusahaan untuk bersaing melalui undifferentiated marketing. Sebaiknya jika pesaing menempuh strategi undifferentiated marketing, maka perusahaan akan memperoleh sukses dengan mengadakan segmentasi secara aktif.

dilematika remaja

Di era modern ini, remaja sudah terpengaruh dengan perkembangan globalisasi yang tentunnya sudah sangat mendunia. Hal ini menyebabkan mereka menjadi manusia yang hedonisme, yaitu bersenang-senang untuk kepentingan dunia saja. Mungkin sudah tidak lagi berfikir bagaimana hubungan dengan Tuhan-Nya, bahkan sudah lupa atau tidak perduli.
Contohnya, remaja sekaranag ini lebih memilih untuk  hang out ke mall dengan teman-temannya, ketimbang pergi ke masjid atau gereja untuk beribadah. Tempat-tempat ibadah sudah jarang sekali dikunjungi kaum muda, karena mereka terlalu sibuk dengan kegiatan dunianya. Padahal beribadah merupakan jembatan bagi umat untuk berkomunikasi dengan Tuhan-Nya, hidup akan damai dan tentram jika kebutuhan dunia dan rohani seimbang .
Contoh lainnya, konser musik atau stadion olahraga bisa penuh sesak dengan semangat mereka yang menggebu, tapi coba kita bandingkan dengan tempat ibadah yang biasanya diadakan acara siraman rohani, hanya duduk diam dan mendengarkan dengan baik saja mereka malas melakukannya. Inilah di mana saat keimanan remaja mulai menurun.
Banyak hal lain yang bisa kita jadikan contoh untuk introspeksi diri agar menjadi remaja yang lebih baik. Menyeimbangkan kebutuhan dunia dan rohani. Agar kita lebih nyaman untuk menjalani kehidupan dunia dan siap untuk menjalankan kehidupan di akhirat nantinya.